Realita Anak Teknologi Pendidikan yang Kepedean Jadi Digital Writer

Daftar Isi [Tampil]

Bukannya Ngembangin Skill Desain, Malah Bergulat Sama Tulisan

white-ceramic-mug-on-saucer-beside-silver-spoon
sumber: unsplash.com/@toeljimothy

Katanya, Teknologi Pendidikan itu jurusan yang serba bisa, karena bukan hanya mempelajari satu bidang keilmuan saja. Lulusannya jadi guru bisa, pustakawan bisa, kurikulum bisa, desain grafis apalagi. Kurang lebih begitu kata para dosen dan testimoni beberapa kakak tingkat yang sudah lulus.


Tapi, siapa sih yang tidak galau kalau jurusan dan minatnya tidak selaras?


Saya yang memang dasarnya suka menulis, sempat pupus harapan saat masuk jurusan ini. Mungkin akan sulit, pikir saya karena jurusan teknologi pendidikan tidak sesuai dengan bidang yang saya mau. Tahun pertama saya lewati dengan berat hati sampai saya bertemu dengan mata kuliah 'Naskah dan Storyboard'. Awal mula saya memantapkan diri untuk tetap menulis.


Harus Berani Cari Ilmu di Luar

Bagi saya, menulis itu cara teraman untuk berkomunikasi. Mungkin karena saya tidak pandai berbicara. Namun, bukan berarti saya pandai dalam merangkai kata. Dengan keterbatasan pengalaman yang ada, mau tidak mau saya pun harus mencari ilmu di luar. Salah satunya dengan ikut organisasi dan kepanitiaan.


Saya memberanikan diri untuk ambil peran sebagai penulis siaran pers himpunan pada saat itu. Sepertinya itu pengalaman pertama saya menulis untuk orang lain. Setiap kali diminta menulis, jantung rasanya berdebar sekaligus bahagia. Berdebar karena takut mengecewakan, apalagi kalau hanya diberi tenggat waktu satu hari. Namun, bahagia rasanya membayangkan orang lain mendapat informasi dari tulisan kita.


Tapi ya, jangan lupa dengan revisi. Sama seperti mengerjakan desain, menulis juga tidak jauh-jauh dengan yang namanya revisi. Apalagi kalau kerja dengan orang lain. Menurut kita oke, belum tentu menurut mereka juga oke. Itu tuh yang terkadang bikin kepala sakit. Apalagi kalau benar-benar sudah buntu.


Ada Kalanya Merasa Burnout

Sebagai mahasiswa, ada kalanya harus begadang mengerjakan tulisan sambil menyelesaikan proyek mata kuliah yang menumpuk. Apalagi kalau tenggatnya berdekatan. Alhasil, otak jadi blank dan akhirnya burnout. Sebenarnya itu wajar kok. Dalam dunia kepenulisan, kondisi seperti itu disebut writer’s block.


Saya sendiri sudah beberapa kali mengalami writer’s block. Kepala rasanya benar-benar buntu, kehabisan ide, tidak tahu mau menulis apa lagi, sedangkan deadline semakin mengejar. Seperti sekarang ini. Padahal saya hanya perlu menulis pengalaman suka dan duka sebagai anak Teknologi Pendidikan yang memilih jadi digital writer. Kalau sudah seperti ini, sepertinya memang harus rehat. Mungkin dengan menonton film atau sekadar mendengarkan musik untuk menyegarkan otak.


Kabar Baik, Peluang Lebih Besar

Sebagai mahasiswa Teknologi Pendidikan yang notabene banyak dikelilingi anak desain, saya merasa bersyukur. Lingkungan ini memberikan saya peluang lebih besar untuk mengambil peran sebagai penulis. Saya dapat kesempatan untuk terus mengasah kemampuan menulis. 


Beberapa rekan kuliah pun sering mempercayakan saya untuk menjadi penulis mereka. Ketika ada proyek film, saya dipercaya untuk menjadi penulis naskah. Pernah pula, seorang teman yang hobi fotografi mengajak saya berkolaborasi untuk membuat konten Instagram yang menggabungkan hasil jepretan miliknya dengan tulisan saya yang buat. 


Harus Pandai Bertarung dengan Waktu

Menjadi mahasiswa saja sudah cukup sibuk. Ditambah ikut berbagai kegiatan di luar perkuliahan, tingkat kesibukannya pun otomatis naik level. Saat tugas kuliah lagi padat-padatnya, ditambah ada deadline tulisan dari klien, terkadang membuat saya merasa 24 jam sehari itu tidak cukup. Di sinilah pentingnya mengerti manajemen waktu dan tahu batas kemampuan diri. Jangan sampai karena ambisi, kita jadi kehilangan arah.


Manajemen waktu itu bukan soal mengisi 24 jam sehari dengan aktivitas, tapi soal bagaimana kita bisa memilah yang benar-benar penting dan bisa kita selesaikan dengan baik. Terkadang kita harus berani bilang “tidak” pada ajakan atau tawaran yang sebenarnya menarik, demi menjaga fokus terhadap hal yang lebih prioritas. Bukan berarti kita menutup diri dari kesempatan, tapi justru itu bentuk tanggung jawab terhadap diri kita sendiri.


Sekarang, menulis sudah menjadi bagian dari diri saya. Meskipun terkadang ada kalanya merasa lelah dan jenuh, menulis tetap jadi ruang paling nyaman untuk saya mengekspresikan diri. Bahkan, saat tidak ada permintaan dari klien sekalipun, saya tetap menulis di waktu senggang. Entah sekadar menulis prosa atau membagikan insight dari film atau buku yang baru saya nikmati.

 

Penulis: Siti Harjani Puspita

Editor: Maulana Hasan