Gagasan Perpustakaan Supaya Bisa Buka 24 jam Itu Terkesan Sedikit Apatis dan Egois

Daftar Isi [Tampil]

 seorang gadis dan dua monster

Beberapa waktu lalu, sebuah platform media sosial menayangkan sebuah konten berisi gagasan tentang perpustakaan mesti buka lebih lama. Banyak pihak merasa setuju dengan ide tersebut. Beberapa berpendapat bahwa apabila perpustakaan dapat buka lebih lama, maka mereka bisa memanfaatkan fasilitas dan membaca dengan waktu yang lebih panjang pula. Berbagai argumentasi muncul silih berganti. Sayangnya, semua opini yang ada melupakan sesuatu yang seyogyanya tidak luput dari perhatian.

Kita biasa membicarakan tentang perpustakaan, buku, dan literasi, tapi lupa pada sosok dibaliknya yakni, pustakawan. Semua sibuk membahas lama waktu buka perpustakaan tanpa peduli pada nasib orang-orang yang akan terdampak jika ide  itu benar-benar terwujud. Maka, tidak salah jika mengatakan bahwa gagasan perpustakaan supaya buka 24 jam itu terkesan sedikit apatis & egois.

Sebagai seorang pustakawan, saya menilai ide perpanjangan jam buka perpustakaan bukan ide yang jelek, tapi tidak bisa dibilang bagus juga. Memang, gagasan itu bisa menjadi sebuah inovasi. Di satu sisi, dapat menjadi aksi nyata dalam mendorong terbentuknya ekosistem “literasi”. Namun, di sisi lain, mengiyakan ide tersebut itu tidak semudah membalik tangan & cukup berdampak pada staf perpustakaan.

Jam Kerja Itu Ada Aturannya, Abangku

Mari kita samakan pandangan dahulu tentang pustakawan. Pertama, pustakawan tidak bisa disamaratakan dengan pengajar dalam lembaga pendidikan. Selain beda jobdesc, skema jenjang karirnya juga beda. Kedua, status pustakawan lebih bisa disamakan dengan staf administrasi atau tenaga pendidik yang mendapat upah per bulan. Dengan kata lain, pustakawan itu adalah buruh/pekerja.

Di UU No 13 Tahun 2003  dan UU Cipta kerja sama-sama tertulis bahwa lama seseorang bekerja dalam skema 5 hari kerja adalah 8 jam sehari alias 40 jam seminggu. Aturan ini tentu saja menjadi catatan bagi para pemberi kerja di semua bidang dalam menetapkan kebijakan jam kerja harian. Lewat dari 8 jam, hitungannya adalah lembur dan wajib ada upah tambahannya. Itupun paling mentok lembur hanya 3 jam sehari atau 14 jam di satu minggu.

Sayangnya, tidak semua lembaga atau institusi sanggup untuk membayar uang lembur. Sehingga, mereka biasanya meniadakan kegiatan lembur itu sendiri. Soalnya, memaksa pekerja lembur tanpa adanya upah tambahan, bisa menjerat lembaga ke ranah hukum. Lagipula, eksploitasi ala romusha begitu, sudah tidak boleh terjadi lagi.

Uang Lembur Boleh Jadi Lancar Jaya, tapi Pustakawan juga Manusia

Baiklah, semisal ada perpustakaan yang bisa kasih uang lembur lancar ke pustakawan. Pokoknya, tiap kali lembur, pasti dapat tambahan upah. Sekilas terlihat adil dan semua senang—jam buka perpustakaan bisa lebih panjang, orang-orang bisa manfaatkan fasilitas perpustakaan lebih lama, dan pustakawan dapat penghasilan tambahan. Namun, tidak selamanya semua orang akan terus terusan senang karena suatu waktu pasti akan merasa jenuh juga.

Pustakawan itu manusia. Pasti ada capek dan stressnya. Jika terus-terusan lembur, otomatis capek fisik dan lelah mental juga bertambah dari biasanya. Uang lembur yang harusnya dipakai buat kebutuhan atau ditabung, bisa-bisa malah dipakai berobat jalan. Belum lagi semisal si pustakawan sudah berkeluarga. Jika terus-terusan di perpustakaan, pulang malam. Kapan bisa kumpul bareng anak-istri. Sisa tenaga yang mestinya bisa untuk family time, malah habis di perpustakaan meladeni orang lain.

SDM & Anggaran yang Sama-Sama Gak Cukup

Baiklah, semisal ada perpustakaan yang menerapkan skema shift pagi-siang-sore. Perpustakaan ini terdiri dari dua lantai koleksi mencapai 8 ribuan koleksi. Pustakawan bergantian menjaga dan menjalankan perpustakaan. Anggap dalam satu shift ada 3 orang yang berjaga, berarti ada 12 pustakawan dalam sehari. Tiap orangnya mendapat upah 3-4 juta sebulan sesuai UMR. Itu berarti perpustakaan mesti mengeluarkan 36 juta lebih tiap bulannya untuk gaji saja.

Jika perpustakaan punya sumber pendanaan yang surplus dan stabil tiap bulannya, skema shift bisa saja diterapkan. Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit perpustakaan yang biaya operasionalnya saja sudah keteteran. Kalau tetap maksa, justru akan terjadi pembengkakan keuangan yang gila-gilaan dan tidak efisien.

Belum lagi jumlah sumber daya manusia yang dapat bekerja di perpustakaan itu masih belum mencukupi. SDM di sini maksudnya, orang-orang yang memang kompeten di bidangnya. Jadi, tidak asal comot, karena kualitas layanan di perpustakaan dipengaruhi oleh kualitas pustakawannya.

Sebaiknya Saling Pengertian Saja

Masih ada satu lagi faktor yang jadi alasan mengapa perpanjangan jam buka perpustakaan perlu dipikirkan dan direnungkan lagi. Semisal pun pada akhirnya ditemukan sebuah win-win solution, apakah akan menjamin penggunaan perpustakaan dan tingkat literasi meningkat? Jika melihat budaya dan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sekarang, memperpanjang jam buka perpustakaan kemungkinan besar tidak akan membuahkan hasil yang nyata.

Toh, kalaupun tujuannya untuk mendorong peningkatan literasi, tidak harus lewat penambahan jam buka perpustakaan. Jika memang waktu baca di perpustakaan terbatas, masih bisa diakali dengan pinjam buku untuk dibawa pulang atau baca e-book lewat aplikasi perpustakaan digital. Juga bagi pustakawan dapat  membuat sebuah inovasi dan program baru untuk lebih memaksimalkan kinerja perpustakaan pada jam kerja yang ada.

Intinya, mari saling pengertian dan saling memperbaiki saja. Ide gagasan tentang perpustakaan harus buka lebih lama itu bagus, tapi ingat juga, ada nasib pustakawan yang patut dipedulikan. Mungkin di masa yang akan datang, di masa ketika kondisi-situasi (budaya) bangsa Indonesia sudah lebih mendukung dan ekosistem literasi sudah lebih baik,  perpustakaan bisa buka sampai 24 jam dan tutup pas kiamat saja.


Penulis: Maulana Hasan
Editor: Anggi Atmaya