Sebagai fresh graduate, aku sadar betul kalau aku minim pengalaman di dunia kerja yang beneran. Jadi, ekspektasiku ketika keterima kerja nanti adalah ‘ngikut bebek’ alias belajar di bawah arahan senior. Namun, semua itu terbalik 180 derajat ketika aku masuk bekerja di sekolah swasta satu ini.
FYI, sekarang aku udah gak di sekolah swasta itu. Udah pindah lama. Dulu, Aku kerja di sana hampir setahun.
Honestly, sekolahnya punya reputasi yang bagus banget. Dari sisi pegawai, sekolah punya staf dan guru yang lumayan banyak untuk seukuran lembaga pendidikan. Soal kesejahteraan, instansi satu ini bisa dibilang cukup makmur. Keuangan dan juga fasilitas penunjangnya lumayan bagus.
Walaupun begitu, selama aku ada di sana, aku benar-benar dibikin babak belur. Sedih kalau harus dikenang, tapi sekarang itu cuma masa lalu yang akan aku ceritakan di tulisan ini.
Tiba-tiba Ditunjuk Jadi Kepala Perpustakaan Padahal Baru Lulus
“ … jadi saya harap mulai sekarang, mbak yang bertanggung jawab atas perpustakaan ya. Staf-staf yang ada itu silahkan diarahkan berhubung mereka kan tidak seperti mbak yang linier perpustakaan…”
Kurang lebih begitu kata-kata petinggi sekolah yang menerimaku bekerja. Sebenarnya masih banyak yang beliau jelaskan soal posisiku di sekolah. Intinya, aku ditunjuk sebagai orang yang bertanggung jawab penuh atas perpustakaan dan semua staf perpustakaan yang sudah ada harus mengikuti arahanku.
Kelihatan powerfull banget kan? Nah, justru itu yang bikin aku terbebani. Aku memang pernah ikut organisasi kampus dan jadi ketuanya juga, tapi feeling nya beda lho. Di awal, aku sudah bilang ke yang bersangkutan kalau aku keberatan dengan ‘tanggung jawab itu’. Aku yang baru masuk, mana mungkin bisa tiba-tiba menyuruh-nyuruh seniorku di sana, ditambah masih fresh graduate pula.
Tapi, beliau malah memberiku wejangan berikut dengan kata-kata penenang yang sebenarnya gak guna menurutku.
“Jalani saja dulu mbak. Saya yakin mba bisa kok.”
Senior dan Rekan Kerja yang Bikin Ngelus Dada
Kamu mesti tahu dulu kalau ada dua staf perpustakaan selain aku, yaitu bu Firda (nama samaran), dan mas Munir (nama samaran juga). Sesuai cerita pak Petinggi Sekolah, keduanya memang tidak punya latar perpustakaan mau itu pendidikan atau pekerjaan.
Walaupun memang Bu Firda dan Mas Munir juga sudah diberitahu oleh petinggi kalau aku diamanahi posisi di atas mereka. Jujur, sebenarnya aku masih merasa takut karena statusku sebagai junior. Siapa aku tiba-tiba jadi atasan mereka. Namun, siapa sangka, Bu Firda dan Mas Munir setuju-setuju saja. Maka, di hari itu dimulailah karirku sebagai pustakawan sekolah nyambi kepala perpustakaan.
Karena Bu Firda & Mas Munir setuju dan tidak keberatan aku jadi atasan mereka, aku mulai agak tenang. Aku merasa mulai bisa memikirkan langkah-langkah kedepannya dimana kami bertiga bisa saling bekerjasama. Nahasnya, itu cuma khayalanku saja karena kenyataannya, baik Bu Firda maupun Mas Munir jarang mau mendengarkan aku. Mungkin mereka menganggapku masih anak bau kencur mungkin (?). Yah, wajar saja sih.
Mereka berdua itu sebenarnya orang baik-baik. Gak ada riwayat kriminal atau pernah bikin ribut sesama rekan kerja di sekolah (kayaknya). Mereka juga welcome banget ketika aku masuk. Cuman ya itu, tiap kali ada apa-apa dengan mereka, aku pasti kena getahnya.
Pertama, Mas Munir
Aku pernah dapat teguran dari bagian tata usaha karena katanya mas Munir tidak pernah stand by di perpustakaan. Aku diminta untuk menasehati mas Munir supaya bisa profesional. FYI, aku sama mas Munir cuma beda satu tahun dan kebetulan kami dari almamater SMA yang sama. Walaupun baru kenal di tempat kerja, seenggaknya aku gak terlalu canggung.
Cuman ya itu, saat aku ajak ngobrol soal dia yang ilang-ilangan, alasannya ada aja. Sibuk ini, sibuk itu, sampe aku bosen denger omongannya. Padahal, aku cuma minta dia untuk bisa stand by di perpustakaan soalnya dia menerima gaji sebagai pustakawan. Untuk beberapa hari, kata-kataku cukup berefek, mas Munir rajin hadir, tapi ya gitu ... setelahnya ilang-ilangan lagi. Kemudian, aku kena tegur lagi. Gitu aja terus.
Kedua, Bu Firda
Kalau bu Firda lain lagi. Gak kayak mas Munir, ibu-ibu satu ini jauh lebih unik. Hampir setiap hari mulutnya tidak pernah berhenti mengeluh. Aku gak masalah semisal beliau curhat, tapi ini enggak. Ini isinya ngeluh, ngeluh, ngeluh. Sebagai introvert garis keras, denger orang mengeluh tiap hari bikin capek dan dongkol juga. Seringnya, aku cari-cari alasan supaya bisa kabur pas beliau mulai cerita aneh-aneh (ngeluh).
Selain seneng ngeluh, ada satu sikap lain dari bu Firda yang bikin aku gak tahan banget: omongannya gak bisa dipegang. Pernah suatu waktu, karena mas Munir ilang-ilangan, otomatis kerjaan cowo itu gak beres-beres. Aku waktu itu diteken sama bagian kepegawaian untuk cari solusi. Jadi, aku diskusilah dengan bu Firda.
Dari diskusi itu, kami sepakat untuk ngebagi kerjaan mas Munir supaya bisa kami kerjakan berdua, tapi hasilnya apa? Sampe kerjaan itu beres, gak pernah bu Firda nyentuh. Semua aku kerjakan sendiri karena kalo gk kukerjain, perpustakaan gak akan punya data yang akibatnya ketika evaluasi, bisa-bisa aku lagi yang kena. Nahasnya, kejadian ini bukan sekali-dua kali.
Jadi Bahan Gosip
Ketika awal-awal bekerja di sana, aku merasa enjoy banget. Selain karena gaji yang lumayan, aku bisa berkarir sesuai panggilan hati, tapi itu gak bertahan lama. Setelah masuk bulan ketiga, muncul beberapa perkara yang bikin aku gak nyaman. Aku berusaha sabar dan berpikir kalau semuanya bakalan baik-baik saja. Selama aku bisa ngatur caraku bereaksi, aku bisa bertahan.
Sebenarnya, masalah-masalah yang kuhadapi waktu itu sepele banget. Bahkan mungkin orang-orang bakalan ketawa dengernya. Aku sendiri juga bakalan ketawa sih kalau lihatnya dari posisi sekarang. Cuman, waktu itu aku masih fresh graduate, jadi belum punya pengalaman nge-handle permasalahan di tempat kerja.
Pertama, setelah beberapa waktu aku bekerja di sana. Tanpa aku sadari, aku jadi bahan gosip di antara guru-guru. Aku tahu itu dari salah satu senior aku. Padahal aku gak pernah ngerasa ngelakuin sesuatu yang bikin mereka sakit hati. Aku merasa sudah melakukan tugasku sebagai pustakawan sebaik yang kubisa.
Pernah juga suatu waktu, pas mereka pada kumpul di perpustakaan, posisiku ada di luar waktu itu, aku bisa denger kalo mereka asyik ngomongin aku di dalem. Pas aku masuk, tiba-tiba mereka semua diem-dieman. Pas pulangnya, aku nangis di kamar. Salahku dimana. Sampe gak enak makan.
Kena Sindir Terus
Kedua, pernah juga aku disindir habis-habisan sama oknum guru. Salah satu kejadiannya, siang-siang, pernah aku lagi di perpustakaan sambil ngolah buku-buku di sana. Sendirian karena bu Firda dan mas Munir lagi izin gak masuk. Aku gak tahu mereka kemana hari itu. Kemudian, “orang itu” datang. Kebetulan di depan perpustakaan anak-anak lagi ngumpul nunggu si oknum, niatnya mau ngajak belajar di perpustakaan aja.
Tahu gak apa yang orang itu bilang?
"Jangan, nanti bu Angginya Cemberut!"
What the f*ck?!
Aku cemberut? Sejak kapan? Kok harus banget ya bilang gitu di depan anak-anak. Kayak pengen banget ngerusak citra aku di depan mereka. Padahal, aku susah payah kerja demi supaya anak-anak mau ke perpustakaan. Aku bersih-bersih, ngolah buku berjam-jam, bikin program ini-itu, dan lain-lain, ternyata gak dihargai.
Kalau kamu pikir omongan bibir laknat itu bercanda, kamu salah. Aku tahu dan ngerti ketika orang lain bercanda, tapi ini enggak. Masalahnya, itu gak sekali-dua kali, tapi sering.
Bertahan Lalu Resign
Akumulasi semua perkara yang kuhadapi di sana dulu itu cukup bikin stress. Aku akui kalau aku kena mental dan belum sanggup nanggung itu semua. Jadi bahan gosip, kena semprot personalia, gak pernah didengerin rekan kerja, dan sebagainya. Cukup!
Untuk sementara waktu, aku putuskan untuk bertahan. Selama masa ‘bertahan’ itu aku coba cari-cari alasan supaya nggak resign. Aku tetap gak rela mesti keluar cuma gara-gara orang-orang itu. Masih ada guru-guru yang sayang aku, mereka yang selalu dukung & bantu aku untuk bisa bangun perpustakaan sekolah menjadi lebih maju.
Genap satu tahun aku bertahan di sana. Aku udah gak tahan lagi. Di malam itu, aku tulis surat cinta (resign) untuk kepala sekolah dan petingginya sambil nangis di kamar sendirian. Sebenarnya agak berat juga ninggalin tempat itu karena aku udah cukup deket sama anak-anak (siswa). Tapi, aku juga gak mau gila dan sakit hati terus terusan.
Singkat cerita aku out dari sana dan nganggur beberapa waktu. Selama masa nganggur itu, aku banyak berpikir tentang jalan yang aku pilih. Intinya, aku muhasabah diri lah. Aku jadi sadar kalau ternyata aku masih kekanak-kanakan, over-reacting, overthinker, dan kurang mampu akrab sesama rekan kerja.
Aku mulai sadar kalau semua kejadian yang sudah-sudah, ada kaitannya dengan aku yang ‘kurang’ bisa bersosialisasi. Intinya, Apa yang aku alami, gak semuanya salah orang lain. Aku sendiri juga ambil bagian. Sebagai FG dan manusia biasa, aku mengakui kesalahan ku dan bertekad memperbaikinya di tempat baru.
Puji tuhan, gak sampai dua bulan, aku dapat panggilan untuk kerja di instansi tempat kerjaku sekarang. Di sini, aku dapet atasan yang baik dan mau membimbing aku yang kadang susah dibilangin. Selain itu, ada rekan kerja yang suportif, selalu siap sedia ketika aku bingung ngerjain jobdesk. Walaupun aku masih jadi bahan gosip karena katanya aku cuek, aku gak terlalu ambil pusing. Aku cuma harus lebih berusaha untuk memperbaiki sikapku yang kurang itu.
Kata rekan kerjaku sih, 'minimal sapa deh, jangan terlalu cuekan, Anggi. Nanti kamu sendiri yang susah.' Baiklah, PR baru lagi, tapi kali ini aku merasa lebih bahagia aja di prosesnya.
Terimakasih sudah mau baca ceritaku. Aku gak bermaksud menjelek-jelekkan siapapun dan kuharap pembaca bisa mengambil sisi positif dari curhatan ini. Terimakasih, salam.
Penulis: Anggi Atmaya
Editor: Maulana Hasan