PUSTAKAWAN. Mendengar nama profesi itu disebutkan, kebanyakan orang akan berkata bahwa tugasnya hanyalah menjaga buku dan perpustakaan. Kata-kata yang sangat sering saya dengar.
Kebetulan, Saya adalah pustakawan di salah satu perguruan tinggi. Jadi, perkataan bahwa pekerjaan pustakawan “hanyalah jaga buku dan perpustakaan” saya dengar sendiri. Padahal, selama bekerja, saya pribadi pernah membantu mengelola artikel jurnal, akan tetapi tidak ada perubahan. Orang-orang di sekitar masih menganggap pekerjaan saya hanya sebatas menatap layar komputer saja. Mereka–meskipun sudah berpendidikan tinggi, tidak bisa berempati dengan baik.
Belum lagi, para pimpinan hanya peduli pada penilaian di atas kertas saja; serta para senior cuma meninggalkan segudang masalah yang harus diselesaikan oleh para penerusnya.
Job Desk Tiba-Tiba Nambah dan Banyak
Awalnya, saya cuma bekerja full time di Perpustakaan saja. Namun, seiring berjalannya waktu, Jobdesk saya tiba-tiba bertambah. Saya ditugaskan untuk merangkap jabatan sebagai admin LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat). Lebih tepatnya, saya didaulat menjadi Tenaga Pendidik Non-edukatif bagian Publikasi di LP2M.
Tugas saya selama “merangkap” admin itu, seperti mengarsipkan surat masuk dan surat keluar; mengerjakan laporan kinerja Perguruan Tinggi untuk akreditasi; dan merekap data publikasi Ilmiah. Selain itu, saya juga disibukkan melakukan rekapan data Luaran Penelitian Buku Ber-ISBN; merekap Password BIMA (Basis Informasi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat), dan masih banyak lagi. Tidak sampai di sana, seringkali saya juga mengerjakan proses layouting & Editing pada artikel jurnal ilmiah kampus.
Belum lagi, dengan pekerjaan di bagian unit perpustakaan. Saya masih berkewajiban untuk menjalankan fungsi perpustakaan. Job desk harian seperti sirkulasi buku, rekapitulasi data, dan preservasi turut saya kerjakan pula. Jadi, bisa dibayangkan betapa menumpuknya beban kerja yang ada.
Status Belum Jelas, Atasan Culas, Kurang Getir Apa Lagi
Selain tugas yang menggunung sebelumnya, ada hal lain yang bikin saya selalu mengusap dada yaitu, status saya sebagai karyawan. Seharusnya presentasi orientasi dilakukan tiga tahun lalu—2021, tapi tertunda sejak pergantian pimpinan. Inilah hal yang paling getir yang saya alami. Saya seharusnya sudah diangkat jadi karyawan tetap sejak dulu, tapi ada saja halangannya.
Lebih mengenaskannya lagi, penilaian kinerja saya selama ini hanya dilihat dari tahun lalu saja. Padahal, saya sudah berkorban waktu dan tenaga–sampai rela lembur tidak dibayar. Kemudian, ketika rapat harus manut (nurut) sama perintah atasan. Kalau atasan belum pulang, saya sebagai bawahan harus setia menunggu walaupun sampai jam 10 malam. Pokoknya, tidak ada yang boleh pergi dari rapat sebelum semua selesai dibahas. Parahnya, jadwal rapat seringkali ngaret (telat) dan selalu diadakan mendadak.
Manusia-Manusia Julid yang Tidak Tahu Diri
Selain dibebani oleh pekerjaan dan harus meladeni atasan, saya pun harus senantiasa “bersabar” saat menghadapi manusia-manusia julid. Mereka memandang sebelah mata apa yang saya kerjakan sebagai pustakawan di perpustakaan. Setiap kali ada yang bertanya pekerjaan apa yang saya lakukan di Perpustakaan, mereka pasti hanya menjawab menyusun-nyusun buku saja. Miris sekali mendengar mereka berkata seperti itu.
Padahal, tanpa buku—perpustakaan, dosen dan mahasiswa akan kesulitan dalam mengerjakan karya tulis ilmiah. Sayangnya, walaupun demikian, manusia-manusia julid itu tidak terbuka matanya. Mereka menganggap bahwa perpustakaan dan profesi pustakawan kurang penting bagi kampus. Sehingga tidak heran bila perkembangan perpustakaan tidak begitu diperhatikan.
Itulah kenyataan pahit yang saya jalani sepanjang waktu. Namun, sebagai pustakawan sekaligus Gen Z yang sudah ditempa oleh cobaan dan tekanan, saya akan terus maju. Seberat apapun hambatannya, pasti saya hadapi walau level rintangannya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Penulis: Anonim (Identitas penulis dirahasiakan)
Editor: Anggi Atmaya