Magang di Perpustakaan: Kebutuhan Pemustaka Terpenuhi walau Pusing Setengah Mati
Penulis: Anin Dwi Asri
Perpustakaan sering disebut sebagai pusat informasi. Sayangnya, mengelola informasi-informasi tersebut masih sering dianggap remeh oleh banyak orang. Tak jarang seorang pustakawan akan dianggap aneh jika lelah bekerja karena yang dilihat oleh orang lain hanyalah menjaga buku, meski kenyataannya, seorang pustakawan sering memiliki deretan tugas yang harus dikerjakan dalam jumlah banyak, serta tak jarang dikerjakan seorang diri.
Sumber: unsplash.com/@junojo |
Magang Tanpa Arahan yang Jelas
Magang bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada seorang pemula agar bisa mempelajari tugas yang akan dikerjakan nantinya, dengan arahan orang lain yang lebih berpengalaman. Hanya saja, apa yang saya jalani ketika magang di salah satu perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum tidak seperti itu.
Perpustakaannya tidak berukuran besar. Namun, jumlah koleksi yang ada di sini mencapai 800 lebih judul. Nyaris mencapai 1000. Dengan kontrak selama tiga bulan, seluruh koleksi harus diinput kedalam katalog, mencetak satu persatu labelnya, dan menempelkannya pada punggung buku. Tugasnya cukup sederhana, yang menjadi tantangan adalah langsung mengerjakan semuanya seorang diri tentu bukan hal yang mudah meski saya cukup menguasai praktik dan pelajaran yang didapat selama kuliah.
Berbekal pengalaman belajar saya selama empat tahun di perkuliahan, saya mengerjakan tugas yang diberikan dengan sepenuh hati sambil beradaptasi dengan lingkungan baru yang saya tempati. Meski tidak memiliki rekan pustakawan lain, saya memiliki rekan kerja yang berposisi sebagai administrasi. Sebelum saya magang di sana, rekan saya ini juga merangkap sebagai orang yang mengurus koleksi buku yang dimiliki, mulai dari menyusun di rak, peminjaman, pengembalian, hingga mencatat jumlah buku yang ada.
Latar belakangnya yang tidak berasal dari ilmu perpustakaan membuatnya mengerjakan semuanya secara manual. Jadi, begitu saya mulai bekerja, saya menerapkan Libib agar lebih mudah untuk menginput koleksi dan membuat katalog. Libib juga dapat mencatat dan mengelola pendaftaran anggota perpustakaan sehingga mempermudah peminjaman dan pengembalian buku.
Berkejaran Antara Waktu dan Permintaan
Saat Libib sudah berhasil diterapkan, tiba saatnya untuk menginput seluruh koleksi yang sudah ada. Buku tersebut diinput ke dalam katalog dengan rincian sederhana yaitu judul, nama penulis atau penerbit, ISBN, sinopsis, dan juga nomor klasifikasi. Berhubung sejak awal seluruh buku belum memiliki klasifikasi, maka saya memberi klasifikasi terlebih dahulu baru menginput setelahnya.
Dengan teliti saya memberi nomor klasifikasi dan menginput data agar meminimalisir kesalahan. Namun, sebagai perpustakaan milik perseorangan, pemilik perpustakaan meminta proses penginputan dilakukan secara cepat karena ingin membuka peminjaman online yang bisa diantar ke rumah peminjam menggunakan kurir atau dinamai membership online. Saya jadi mengerjakan seluruhnya lebih cepat. Tak hanya sampai disitu, pemberian label yang diminta menggunakan kertas hvs berwarna dan menyesuaikan warna tersebut dengan klasifikasi usia juga membuat saya sedikit kerepotan.
Pencetakan label menggunakan kertas hvs tentu harus membuatnya dicetak biasa, memotongnya satu persatu, dan menempelnya menggunakan solatip bening agar informasi pada label terbaca dengan jelas. Target saya saat itu menjadi sebulan melakukan penginputan, sebulan kemudian harus menyelesaikan target label. Terdengar melelahkan tapi saya tetap tertantang untuk menjalaninya. Saya yakin bahwa hal tersebut masih sesuai dengan kemampuan saya dan saya pasti bisa menyelesaikannya tepat waktu.
sumber: unsplash.com/@jannerboy62 |
Pusing Mengikuti Arahan yang Tidak Bisa Diterapkan
Saya berhasil menyelesaikan penginputan dan juga pemberian pada label sambil membuat konten instagram terkait ulasan buku yang dimiliki perpustakaan. Seluruh koleksi juga telah saya tempatkan berdasarkan klasifikasi. Koleksi buku anak memiliki ukuran yang beraneka ragam mulai yang sangat kecil hingga sangat sangat besar. Saya mencoba berbagai macam cara agar buku tersebut bisa tetap berada pada urutan agar memudahkan ketika nanti ingin dipinjam.
Berhubung perpustakaan ini milik pribadi, maka unsur estetika juga diperhatikan di sini, termasuk ukuran rak yang digunakan. Beberapa rak sangat kecil ukurannya, dan sekat yang ada semakin menghalangi koleksi berukuran besar untuk dimasukan ke dalamnya. Awalnya rak tersebut rusak, dan saya pikir akan diganti baru dengan rak lain yang lebih besar karena saya pernah menyampaikan bahwa buku jadi rusak dan terlipat karena dipaksa masuk ke dalam rak.
Masukan saya sempat tidak diperhatikan, beruntungnya ketika rak baru akan dibeli, pemilik sempat datang ke perpustakaan sehingga saya bisa menunjukkan secara langsung jika buku-bukunya memang tidak bisa diletakkan dengan ukuran rak yang seperti itu. Akhirnya rak yang lebih besar didatangkan dan proses penyusunan bisa berjalan lancar.
Koleksi sudah disusun sesuai klasifikasinya. Namun, di akhir periode kontrak saya, pemilik meminta untuk merubah susunan klasifikasi sesuai dengan tema buku saja. Jadi, nomor-nomor klasifikasi tersebut akhirnya tidak benar-benar terpakai dan saya harus menyusun ulang semua koleksi sesuai dengan yang diminta walau itu artinya masalah yang sama akan kembali muncul. Buku berukuran besar tidak akan masuk di rak kecil lainnya.
Begitulah pengalaman magang saya yang sangat luar biasa. Banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil dari kejadian langsung. Pengalaman yang sangat berharga khususnya bagaimana saya menghadapi suatu masalah dan mencari jalan keluarnya. Saya juga senang bisa mendapat kesempatan untuk membuktikan dan melatih kemampuan saya, serta berdiskusi dengan rekan kerja saya meski dengan posisi dan latar belakang yang berbeda.
Penulis: Anin Dwi Asri
Editor: Maulana Hasan