Berbagai Kejutan dan Pengalaman Baru Setelah Sidang Akhir
sumber: unsplash.com/@winstonchen |
Sidang akhir menyisakan tegang bercampur haru. Kursi panas di ruangan sidang menjadi saksi bisu di momen krusial itu. Saya menjadi orang kedua dari bimbingan dosen pembimbing yang lolos untuk sidang akhir. Rasa gugup dan khawatir tak jua lepas bahkan ketika 'masa scoring'. Takut bila saya gagal dan mesti mengulang kembali. Namun, semua perasaan itu sirna saat saya dinyatakan lulus oleh ketua sidang. Rasa haru membanjiri hati saya.
Sidang dinyatakan usai, dan dosen penguji berpesan pada saya agar segera mengurus wisuda.
“Jika ingin wisuda cepat selesaikan revisi dan kumpulkan syarat wisuda,” pesan beliau. Saya lantas mengiyakan.
Setelah keluar ruangan, teman-teman mulai memberikan ucapan selamat. Sahabat saya yang sudah sidang juga, mengingatkan untuk segera menyelesaikan revisi dan mengumpulkan syarat wisuda. Dia sangat berharap agar kami bisa wisuda bersama. Nahasnya, penutupan pengumpulan berkas syarat wisuda hanya berjarak seminggu setelah sidang saya.
Dalam waktu yang singkat itu, saya berusaha mengejar secepatnya. Namun, takdir berkata lain. Walaupun sudah berusaha maksimal, saya tidak bisa mengumpulkan syarat wisuda tepat waktu. Hal itu tentu saja berdampak pada syarat-syarat wisuda yang lain. Harapan bisa wisuda bersama itu pupus sudah.
Melunasi 'Hutang' pada Dosen
Saya masih punya ‘hutang’ dengan dosen pembimbing saya. Kala itu tema penelitian saya akan dijadikan dalam bentuk artikel. Saya mendaftar konferensi internasional yang dilaksanakan oleh fakultas lain. Pengalaman ini belum pernah terealisasikan selama duduk di bangku perkuliahan, inilah saatnya memulai pengalaman baru.
Pengumuman pelaksanaan wisuda telah diumumkan dan bertepatan dengan pelaksanaan konferensi internasional. Saya memaparkan penelitian saya di depan banyak orang. Sekitar 80% audiens adalah dosen dan peneliti, sisanya mahasiswa. Tak lama setelah acara konferensi, saya menemui sahabat saya yang wisuda. Mengucapkan selamat atas kelulusannya dan selamat tinggal karena dia adalah mahasiswa rantau yang entah kapan lagi kami akan bertemu.
Nazar Ibu, HP Baru, dan Kata-kata yang Jadi Nyata
Ibu saya memiliki nazar (baca: janji) jika saya sudah menyelesaikan sidang akhir, saya akan dibelikan gawai baru. Dua hari setelah acara konferensi, saya diajak untuk membeli benda mungil itu. Senangnya bukan main. Namun, kegembiraan itu sedikit goyah saat notifikasi dari dosen pembimbing tiba-tiba muncul.
Saya kira akan membahas soal ‘hutang’ kemarin, tapi ternyata untuk keperluan lain. Dosen menawari saya untuk turut membantu pekerjaannya di bagian administrasi. Lagi-lagi saya disuguhi dengan pengalaman baru. Saya berharap langkah ini menjadi batu loncatan di masa depan. Saya jadi teringat kata-kata Ibu saat saya sedang mengerjakan revisi,
“Semoga kamu bisa kerja di sana,” ujar Ibu.
Waktu itu saya tak berpikir demikian. Terlintas di kepala saja tidak pernah, tapi kata-kata ibulah yang justru menjadi kenyataan.
Pengalaman Sebagai Staf Administrasi
Tak ada salahnya menunggu waktu pembukaan wisuda dengan latihan bekerja. Memulai membuat surat sesuai dengan ketentuan, belajar untuk berkomunikasi yang baik dengan klien, dan bekerja sama dengan tim.
Satu bulan berlalu sejak saya menjadi bagian dari staff administrasi. Saya diajak untuk perjalanan dinas ke luar kota. Selama perjalanan, saya berinisiatif untuk mendokumentasitakan kegiatan tersebut dan mengunggahnya ke media sosial. Mulai saat itu saya pun diamanahi untuk mengaktifkan kembali media sosial yang cukup lama tidak aktif.
Kejutan-kejutan kecil hingga besar ini datang dari hal yang tidak pernah saya sangka. Mulai dari wisuda yang tertunda, ikut konferensi internasional, dibelikan HP oleh Ibu, dan menjadi bagian dari staff administrasi. Meskipun saya gagal wisuda bersama sahabat, tak menjadikan saya rugi dalam hal yang lain. Lantaran nasib yang baik akan terus datang jika kita memandang 'setiap penundaan adalah kesempatan untuk belajar'.