Perpustakaan juga Bisa Mati Suri

Daftar Isi [Tampil]


Berbicara tentang perpustakaan, sudah tentu benak siapa pun akan langsung membayangkan sebuah tempat penuh buku. Bayangan seperti itu tidaklah salah, tapi tidak juga benar sepenuhnya. Jika menilik sedikit pengertian teoritis, perpustakaan disebut sebagai pusatnya informasi dan pengetahuan; tempat belajar dan pengembangan diri; serta penyedia sumber referensi yang valid dan relevan bagi semua orang.


Perpustakaan

Saya, sebagai orang yang memiliki minat besar di bidang perpustakaan tentu saja mengamini peran penting perpustakaan tersebut. Hanya saja, terkadang pentingnya institusi satu tidak berbanding lurus dengan nasibnya. Misalnya, beberapa perpustakaan yang pernah saya kunjungi. Hampir semuanya mengalami hal buruk bernama mati suri.


Maksud dari mati suri di sini, merujuk pada perpustakaan yang ada wujud/gedungnya, tapi sudah hilang eksistensinya. Perpustakaan ini diabaikan oleh orang-orang hingga akhirnya terbengkalai.


Setelah melakukan analisa sederhana berdasarkan pengamatan dan bahan rujukan, saya menyimpulkan setidaknya ada 6 hal yang bisa menyebabkan perpustakaan mengalami mati suri.


[1] Manajemen yang Buruk

Manajemen yang buruk dapat berdampak pada kualitas layanan di perpustakaan. Tanpa manajemen yang baik serta efektif, perpustakaan tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bisa dibilang, urusan manajemen ini adalah hal yang cukup vital karena mengatur bagaimana sebuah institusi dapat beroperasi dengan baik. Jika hal ini diabaikan, tinggal menunggu sampai perpustakaan mati total.


[2] Minim Inovasi dan Kreativitas: Tidak Mampu Beradaptasi

Di tahun 2021, saya pernah menjumpai sebuah perpustakaan sekolah yang terbengkalai dalam waktu lama. Padahal sekolah tersebut memiliki banyak koleksi. Selain itu, pengelolaannya pun masih menggunakan sistem manual tanpa komputer sedikit pun. Saya tidak bilang bahwa katalog kartu itu jelek, hanya saja trennya sekarang adalah perpustakaan menggunakan sistem manajemen berbasis komputer.


Di perpustakaan lain, kasusnya beda lagi. Mereka sudah pakai sistem yang terkomputerisasi. Namun, dalam pembuatan program di perpustakaan, semuanya terasa tidak relevan dengan kondisi terkini saat itu. Hal itu menyebabkan perpustakaan seolah tidak relate dengan kebutuhan-keinginan pemustaka.


[3] SDM yang Kurang Berkompeten

Harus saya katakan, di semua perpustakaan yang saya temukan mati suri, hampir tidak ada SDM yang benar-benar memiliki kompetensi. Di beberapa sekolah, biasanya yang menjadi pustakawan adalah guru mapel. Sebenarnya, penunjukan guru sebagai pustakawan adalah hal yang sah-sah saja dilakukan.


Dengan catatan bahwa orang yang ditunjuk memiliki kecakapan dan kompetensi yang cukup. Setidaknya, orang tersebut mampu untuk menghidupkan perpustakaan; mengetahui cara mengelola koleksi, dan mampu memberikan layanan terhadap pemustaka. Jikalau orang tersebut belum memiliki keahlian yang dimaksud, maka orang itu wajib mengikuti diklat/pelatihan terlebih dahulu.


Namun, alangkah baiknya bagi perpustakaan untuk merekrut tenaga ahli yang memang dididik untuk menjadi pustakawan. Di Indonesia, jenjang pendidikan kepustakawanan telah hadir di banyak kampus berbeda salah satunya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Baca juga:


[4] Perkembangan Koleksi yang Terhenti

Ini juga salah satu permasalahan klise yang biasa ditemukan di perpustakaan. Saya sendiri pernah menemukan satu perpustakaan dengan jumlah koleksi lama (terbitan di atas tahun 1995) yang cukup banyak sedangkan koleksi terbarunya sangat sedikit. Itu pun terbitan tahun 2015 ke sini.


Beda tempat, beda masalah. Saya menemukan sebuah perpustakaan dengan banyak sekali koleksi baru. Awalnya saya kira itu semua adalah buku bacaan. Namun, setelah melihat data dan bertanya, rupanya itu semua hanya buku paket yang diinputkan ke dalam database buku bacaan biasa.


[5] Pelayanan Kurang Memuaskan

Sebenarnya dalam menentukan “puas atau tidak puas” terhadap pelayanan adalah penilaian subjektif dari pemustaka. Pustakawan tidak bisa ikut campur dalam hal itu. Namun, pustakawan tetap bisa mengusahakan hasil terbaik dengan memberikan service terbaiknya.


Biasanya, pemustaka menilai perpustakaan dari dua hal yakni, kualitas layanan dan pribadi pustakawannya. Mereka akan mengukur seberapa responsif dan solutif pelayanan yang diberikan. Di sisi lain, mereka juga pastinya memperhatikan sikap pustakawan; ramah atau tidak.


[6] Tidak ada dukungan dari Pihak Penyelenggara

Saya pernah menemukan kasus di mana perpustakaan di suatu sekolah tidak mendapat dukungan dari penyelenggara yang tak lain adalah sekolah itu sendiri. Saya kurang mengerti apa alasannya waktu itu, hanya saja perpustakaan benar-benar tidak mendapat perhatian kecuali ketika akreditasi sekolah saja.


Dukungan yang saya maksud di sini adalah dukungan moral dan materil. Dua-duanya sangat penting, apalagi bagi pustakawan yang bekerja di dalamnya. Boleh jadi mungkin dukungan materil sangat sulit diberikan karena keterbatasan anggaran, akan tetapi setidaknya berilah dukungan secara moral atau hal yang lain.


Penulis: Maulana Hasan

Editor: - 


Atribusi Maulana Hasan


Referensi Bacaan

[1] https://www.bpkp.go.id/pustakabpkp/index.php?p=perpustakaan+ideal

[2] https://dpk.bantenprov.go.id/Layanan/topic/291

[3] https://blog.ecampuz.com/alasan-beralih-ke-perpustakaan-digital/

[4] https://dkpus.babelprov.go.id/content/pemanfaatan-teknologi-informasi-di-perpustakaan-digital-dalam-menghadapi-tantangan-era

[5] https://dispusip.pekanbaru.go.id/perpustakaan-sebagai-sumber-informasi/

[6] https://journal.isi.ac.id/index.php/JAP/article/download/6990/2624